Jumat, 08 Mei 2015

Kapan Kita Ajarkan Membaca (Al-Qur’an)?


MARILAH kita akhiri acara kita dengan sama-sama membaca do’a penutup majelis.” Anda pernah mendengar ungkapan semacam itu? Apakah yang dimaksud dengan membaca pada kalimat tersebut? Apakah kita kemudian mengambil secarik kertas yang berisi tulisan do’a, lalu membacanya? Tidak. Yang dimaksud dengan membaca pada perkataan tersebut adalah reciting, yakni mengucapkan satu kalimat atau serangkaian kalimat yang kita bahkan telah menghafalnya. Sama halnya dengan penggunaan kata membaca dalam ungkapan “pembacaan do’a yang akan dipimpin oleh…” sama sekali tidak merujuk kepada tindakan seseorang untuk mengambil secarik kertas atau buku yang berisi serangkaian do’a, membacanya, lalu orang lain juga melakukan hal yang sama, yakni membaca tulisan yang dipimpin orang tersebut. Yang terjadi adalah, seseorang berdo’a sementara yang lain mengaminkannya. Tetapi kegiatan ini kita menyebutnya dengan membaca.
Berkait dengan mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an, kita mengenal kegiatan membaca bil ghaib dan bil nadzri. Yang dimaksud dengan membaca Al-Qur’an bil ghaib adalah “membaca” tanpa melihat mushhaf. Jika diterapkan pada anak-anak, misalnya kita melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an, lalu anak menirukannya. Atau pada tahapan lebih awal lagi cukup dengan memperdengarkan. Tetapi kita mengenalnya dengan istilah membaca, padahal yang terjadi adalah memperdengarkan. Adapun membaca bil nadzri adalah membaca Al-Qur’an dengan melihat mushhaf, memahami kaidah-kaidah membaca, mengenali huruf-hurufnya serta hukum bacaannya.
Di sini kita melihat sekurangnya ada tiga arti membaca Al-Qur’an.
Pertama, memperdengarkan kepada bayi ayat-ayat yang kita hafal (reciting aloud) atau kita baca dengan melihat mushhaf (reading aloud). Dalam hal ini, proses yang berlangsung adalah anak menerima dan merekam (receiving and recording) sehingga memudahkan baginya untukmenghafal (memorizing) di kemudian hari.
Kedua, memperdengarkan kepada anak, lalu anak menirukan apa yang kita perdengarkan tersebut. Proses memperdengarkan tersebut dapat berbentuk reciting aloud, dapat pula berupa reading aloud. Hanya saja anak kita minta untuk menirukan. Dalam hal ini, proses yang terjadi lebih kompleks, yakni menerima, mengolah dan memproduksi ucapan sesuai yang ia dengar.
Ketiga, mengajarkan kepada anak mengenali simbol-simbol berupa huruf dan mengubah rangkaian simbol menjadi satu kata bermakna dan selanjutnya menjadi kalimat utuh bermakna. Sebuah proses yang sangat kompleks. Inilah kegiatan yang secara umum disebut mengajarkan membaca (reading).
Pengertian ketiga tentang membaca Al-Qur’an itulah yang dikenal sebagai kegiatan membaca (reading) dalam diskusi tentang literasi, pun pembahasan tentang persekolahan.
Adapun pengertian pertama maupun kedua biasa dikenal dalam kegiatan pembelajaran membaca sebagai pre-reading experience (pengalaman pra-membaca). Saya sempat membahas tentang pengalaman pra-membaca ini di buku Membuat Anak Gila Membaca.
Jika Anda ingin anak senang membaca, salah satu hal yang dapat kita berikan sejak usia dini adalah pengalaman pra-membaca. Tetapi saya tidak sedang mendiskusikan hal tersebut saat ini. Saya ingin lebih fokus pada pembahasan tentang berbagai makna membaca tersebut. Semoga dengan demikian kita dapat memberikan rangsang mendidik yang tepat kepada anak.
Saya merasa perlu membahas ini agar kita tidak gegabah menyalahkan maupun membela. Sebagian saudara kita ada yang dengan gegabah menganggap bahwa menunda mengajarkan membaca dalam pengertian reading (menangkap simbol berupa huruf, mengolah dan mengucapkannya menjadi kata maupun kalimat) hingga usia anak cukup matang sebagai makar Yahudi dan sikap yang menyalahi salafush shalih. Padahal yang kita dapati pada sejarah para ulama, pembelajaran membaca yang dimaksud lebih bersifat reciting aloud maupun reading aloud.
Sampai saat ini kita masih mendapati berbagai contoh bagaimana seorang syaikh membacakan suatu ayat, lalu anak menirukannya. Ini merupakan metode warisan Islam yang sangat bagus. Melalui cara ini anak belajar secara alamiah untuk mengucapkan (reciting) ayat-ayat dengan benar, makharijul huruf yang tepat dan menghafal banyak surat bahkan sebelum ia mampu membaca. Hanya saja hafalan Al-Qur’an mereka kerap disebut dengan ungkapan “anak sudah memiliki bacaan Al-Qur’an yang sangat bagus” atau “anak memiliki disiplin membaca Al-Qur’an semenjak dini”, meskipun yang dimaksud adalah reciting.
Barangkali, inilah resiko tinggal di negeri yang miskin bahasa. Apalagi jika diperparah dengan keengganan membaca dengan tenang, menelaah dengan jernih dan memahami dengan baik. Dua sikap yang kita sangat perlu berhati-hati adalah ifrath dantafrith

Mungkinkah Anak Berbohong?


Banyak penulis dalam berbagai buku mereka yang membahas tentang fitrah seorang anak yang cenderung pada kebaikan karena pada dasarnya anak itu memiliki kebaikan dalam diri mereka. Bahkan ada orang tua yang mengatakan bahwa dunia anak itu adalah dunia kepolosan dan apa adanya. pertanyaannya sekarang mungkinkah seorang anak itu berbohong?. Beranjak dari berbagai pengalaman sehari-hari sebagai seorang guru dan saudara dari adik-adik saya, jawaban saya “Anak mungkin saja berbohong”.
Jika anda adalah tipe orang tua yang selalu percaya dan mengatakan benar apa yang selalu anak katakan saya sarankan mulai saat ini anda jangan mudah percaya begitu saja apa yang dikatakan anak. Ini bukan berarti saya menyuruh anda tidak mempercayai anak anda namun agar anda lebih teliti dengan kecerdasan yang dimiliki anak-anak. Banyak anak yang dunia mereka sangat polos dan berkata biasanya apa adanya namun ada beberapa anak yang sangat luar biasa yang memiliki kecerdasan yang tidak biasa yaitu linguistik (Berbahasa) dan kecerdasan memanifulasi fakta. Bila kecerdasan berbahasa dan memanifulasi fakta ini ada dalam diri anak akan muncul sebuah tindakan baru, merupakan hal yang positif jika orang tua dan guru mampu bersinergi dalam mengarahkannya.
Sebagai seorang guru saya memiliki pengalaman yang terkadang mengejutkan. Ada anak yang memilih sikap saat di rumah dan saat mereka berada disekolah, ketika mereka berada di rumah anak begitu polos dan disiplin namun ketika mereka berada jauh dari rumah, mungkin saat anak di sekolah sebuah kejadian yang tidak terduga terjadi anak yang saat di rumah begitu polos berubah menjadi tidak terkendali ini adalah sebuah tindakan anak dalam menentukkan sikap mereka. Hal ini terjadi mungkin disebabkan keadaan anak saat di rumah sangat terkekang oleh banyaknya aturan orang tua , dan anak tidak memiliki pilihan lain selain taat pada peraturan atau menerima konsekuensi berupa hukuman dari orang tuanya, namun saat anak jauh dari pantauan orang tua anak mulai memilih sikap (membebaskan diri dari segala aturan rumah), anak mulai tidak menaati praturan, tidak disiplin dan berbagai kejadian lainnya. ini juga terjadi karena anak menentukkan sikap.
Maka sebagai orang tua dan sekaligus seorang guru hendaknya kita tidak mudah menerima tindakan dan ucapan anak karena tidak semua anak memiliki dunia yang polos, ada kalanya mereka mampu menentukkan sikap bahkan memanipulasi keadaan yang menguntungkan dirinya. Banyak anak yang mencari zona aman dengan cara memanipulasi atau berohong terhadap apa yang terjadi sebenarnya hanya untuk melindungi diri mereka dari ancaman orang tua atau guru mereka.
Berbohong adalah suatu perbuatan yang disengaja atau tidak, perbuatan ini dilakukan untuk menipu orang lain utnuk mendapatkan hal yang positif dan menghindar dari hal yang negatif. Menurut C. Drew Edward, Ph.D seorang pakar Psikologi Anak, dalam bukunya “Ketika Anak Sulit diatur” menyebutkan alasan seorang anak berbohong sama dengan alasan orang dewasa yaitu untuk menghindari konsekuensi atas prilaku mereka karena mereka malu mengakui kejadian yang sebenarnya, atau untuk menghindari hal-hal yang memalukan atau penolakan terhadap dirinya. Anak juga bisa berbohong hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya atau anak berbohong saat orang tua dan guru marah kepadanya.