Minggu, 13 September 2015

Kubunuh Mantanku Demi Androidnya; Potret Generasi Miris Masa Kini

Miris sekali memang melihat fakta generasi Indonesia yang semakin ke sini bukannya tambah baik justru tambah bejat. Generasi yang digadang-gadang mampu menjadi pemimpin bangsa di kemudian hari ini justru mencoreng citra bangsa.
Segudang masalah yang timbul dalam masyarakat akibat ulah
generasi muda. Entah siapa yang mau disalahkan kini. Semua pihak seolah lepas tangan terhadap moral anak bangsa yang kian merosot. setiap hari mereka selalu menghiasi media cetak maupun elektronik, bukan untuk membanggakan karyanya tapi justru membuat hal-hal yang sungguh memalukan.
Membunuh, memperkosa, membuang anak, menculik, narkoba, minuman keras dan masih banyak lagi tindakan tak layak yang dilakukan anak muda kini. Bukannya sadar akan beban untuk memperbaiki nasib bangsa, justru asyik dengan dunia hedonism yang menjerumuskan.
Berkaca pada berita yang baru-baru muncul, yakni ketika seorang anak SMP di salah satu sekolah negeri di Bandung tewas akibat dibunuh oleh mantan pacarnya sendiri. Motifnya bukan hanya karena sakit hati, melainkan juga ingin mendapatkan HP android yang dimiliki sang mantan. Seperti yang dikutip dalam Liputan6.com (01/09/15), AKBP Mokhammad Ngajib mengataka "Nah yang bersangkutan atau pelaku ini mengharapkan punya handphone android yang bisa operasional seperti rekan-rekannya. Dari keinginan tersebut, yang bersangkutan mempunyai rencana (membunuh) karena si korban ini mempunyai HP android,".
Si korban yang bernama Pricila Dina ditemukan tewas tanggal 31 Agustus 2015 di kawasan Cipamokolan, Rancasari, Bandung dengan sejumlah luka serius di bagian kepala yang diduga korban dibunuh dengan menggunakan palu.
Kejadian ini sungguh tidak pantas dilakukan apalagi bagi anak usia SMP yang notabene masih dalam tanggungjawab orang tua. Anak-anak yang seharusnya masih tahap belajar dan bermain ini justru menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang di luar batas wajar. sebagai anak, memang orang tua lah yang pertama kali akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakannya, apalagi sebelum ia mencapai taraf mukallaf. Namun jika kesalahan hanya dilimpahkan kepada orang tua, rasanya sungguh tak adil.
...masalah rusaknya mental generasi muda ini tidak lain karena derasnya arus budaya hedonis yang berasas permisif sebagai agen dalam menghancurkan generasi muda

Sebab semua lini sejatinya dapat memainkan perannya untuk dapat menciptakan generasi cemerlang dengan sejuta prestasi. Pendidikan yang orang tua tanamkan sejak kecil memang akan menjadi dasar yang kuat untuk anaknya. Namun dasar yang kokoh ini bisa saja tergerus oleh arus lingkungan yang semakin tidak memahami arti pentingnya akhlak yang baik.
Jika kita menengok pada ajaran Islam, masalah rusaknya mental generasi muda ini tidak lain karena derasnya arus budaya hedonis yang berasas permisif sebagai agen dalam menghancurkan generasi muda. Budaya barat yang mengagung-agungkan kebebasan individu ini telah melahirkan berbagai pemikiran yang menjerumuskan generasi pada aktivitas-aktivitas yang tidak perlu bahkan cenderung tidak ada amalannya dalam agama, seperti pacaran.
Selain itu bergesernya peran ibu dalam mendidik anaknya juga menjadi factor penting dalam hal ini. Adanya arus kapitalisme yang semakin menjerat semua kalangan, menyebabkan ibu harus menggadaikan tugasnya sebagai ummu wa rabbatul bait demi memperoleh sesuap nasi.
Ayah yang seharusnya bekerja mencari nafkah pun seolah tak berdaya karena kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Pendidikan berkarakter yang dicanangkan pemerintah pun tidak akan seindah harapan tanpa ada benteng kuat dari keluarga. Jika saja ibu kembali pada perannya semula, dan dengan sungguh-sungguh mendidik anaknya sebagaimana Islam telah mengatur, dijamin moral dan karakter yang terbangun dalam pribadi anak akan mencerminkan akhlak islami.
Akhlak islami inilah yang nantinya akan menuntun generasi untuk menjadi pribadi yang lebih bertanggungjawab atas segala hal yang diperbuat dan tentunya menjadikan standar halal-haram dalam melakukan segala hal. Dengan begitu perbuatan keji seperti kasus di atas akan dapat diminimalisir hingga jumlahnya mencapai angka nol. Untuk itu jalan satu-satunya untuk menyelamatkan generasi muda adalah dengan menerapkan aturan Islam secara sempurna dalam berbagai aspek kehidupan. Wallahu’alam bishawab.

Selasa, 18 Agustus 2015

MENGAJARKAN SHOLAT KEPADA ANAK SEJAK KECIL


Ibadah yang paling utama dan pertama adalah shalat. Allah memerintahkan secara langsung untuk menunaikan shalat, sebagaimana yang tertulis dalam firman Nya.
Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, tetapi Kamilah yang membei rezeki kepadamu. Dan akibat yang baik di akherat adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan seorang kepala keluarga beserta keluarganya untuk melaksanakan shalat. Shalat memegang peranan penting dalam berkeluarga sekaligus berkehidupan di dunia ini. Jika shalatnya baik, maka akan baik pula seluruh seluruh amalannya.
Shalat juga merupakan tiang agama, fungsi yang sangat penting dalam sebuah bangunan. Jika shalat masih bolong-bolong, maka kurang kuatlah keislamannya. Maka dari itu, perlu dibiasakan mengerjakan shalat sejak kecil. Berikut ini cara agar menjadi terbiasa mengerjakan shalat sejak kecil.
  1. Ketika masih dalam kandungan, ajaklah anak untuk shalat. Meski masih dalam kandungan, janin sudah bisa mendengar. Ketika ibu mengajak untuk melakukan shalat, janin akan mulai mengenal waktu shalat walau masih di dalam kandungan.
  2. Ketika anak sudah bisa berdiri dan berbicara, ajak anak untuk shalat disamping kita. Mulai latih si kecil mengikuti bacaan Al-Fatihah agar dia terbiasa dan nantinya akan hafal. Tapi jangan mengajak anak ke masjid terlebih dahulu. Jika anak kecil baru mulai bisa berbicara dia malah akan mengganggu jamaah yang lainnya.
  3. Ajarkan anak bagaimana gerakan shalat yang baik dan benar. Proses ini butuh waktu yang lama sampai akhirnya anak akan bisa melakukan gerakan shalat dengan benar. Pertama-tama bisa melakukan gerakan yang mudah terlebih dahulu, mulai dari sedekap. Baru setelah lancar gerakannya, bisa dilanjutkan dengang gerakan yang lain.
  4. Lakukan semua latihan dengan suasana yang santai dan tidak ada kesan pemaksaan. Jika anak kecil melakukan gerakan shalat yang sangat cepat, biarkan saja dulu. Proses itu mungkin akan berlangsung lama, sampai anak menginjak usia tujuh tahun.  Ketika anak sudah menginjak usia tujuh tahun, mulai terapkan kedisiplinan.
  5. Memberikan penghargaan saat anak sudah mau melaksanakan apa yang diajarkan dan diarahkan. Misalnya ketika anak sudah hafal surat Al-Fatihah, beri dia penghargaan. Penghargaan disini bisa berbentuk materi seperti hadiah, atau bisa juga non materi seperti ungkapan kekaguman. Sampaikan pula bahwa hadiah yang diberikan belum seberapa jika dibandingkan dengan apa yang Allah berikan. Hadiah berupa pahala dari Allah jauh lebih istimewa, yang akan diberikan kelak di akhirat. Penegasan tersebut penting, untuk menanamkan pada anak bahwa shalat itu bukan untuk mencari balasan dari manusia, tetapi balasan dari Allah.
Demikian sedikit kiat mendidik anak agar terbiasa shalat walaupun usianya masih kecil. Rabij alnaa muqiimasholaah wa min dzurriyatina (YA Allah jadikan kami orang yang senantiasa menegakkan shalat bersama anak keturunan kami).

MAZHAB MALIKI, MAZHAB TERLUAS PENYEBARANNYA


SETELAH mengetahui secara umum madzhab Hanafi, yang merupakan madzhab salaf dalam bidang fiqih tertua yang masih bertahan hingga masa ini, kita bernajak kepada madzhab-madzhab salaf lainnya yang masih bertahan. Madzhab Maliki, madzhab salaf kedua umat Islam dari urutan proses pertumbuhannya.
Madzhab Maliki diasaskan oleh Imam Malik. Sebagaimana dicatat oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Asma wa Al Lughat (2/75-79),  Imam Malik adalah seorang ulama besar Madinah yang faqih dan hafidz dalam bidang Hadits. Imam As Syafi’i sendiri pernah menyatakan bahwasannya kalau bukan karena Imam Malik din Sufyan bin Uyainah, maka hilanglah ilmu Hijaz. Dan Imam As Syafi’i selalu mengutamakan Imam Malik daripada yang lain dalam masalah Hadits. Sedangkan Wahb bin Khalid menyatakan bahwa antara timur dan barat, tidak ada yang yang memiliki amanah terhadap hadits melebihi Imam Malik.
Imam An Nawawi juga mengungkap kehebatan Imam Malik dalam bidang fiqih yang diakui oleh para ulama semasanya. Ali Ibnu Al Madini menyampaikan bahwa tidak ada siapapun di Madinah yang lebih tahu dari Imam Malik mengenai madzhab para tabi’iin Madinah. Imam Malik sendiri mengambil periwayatan dari 900 ulama, 300 dari kalangan tabi’in dan 600 dari kalangan atba’ tabi’in yang sudah dikenal akhlak dan ilmu mereka dalam fiqih.
Berfatwa Tanpa Sebut Dalil
Bahkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bagaimana interaksi para penuntut ilmu dengan Imam Malik waktu itu. Abu Mus’ab pernah menyampaikan mengenai majelis Imam Malik,”…Imam Malik menyampaikan dalam sebuah persoalan,’tidak’ atau ‘ya’. Dan tidak ada seorangpun yang berkata,’darimana Anda mengatakan demikian?’”
Hal itu menunjukkan bahwa menyampaikan persoalan tanpa menyebut dalil bukan hal yang tercela di masa salaf. Demikian juga menerima pendapat dan diam dari mempertanyakan dalil kepada ulama bukan hal yang dicela di masa keemasan tersebut. Di masa itu masih hidup ratusan ulama tabi’in dan atba’ at tabi’in. Bahkan ketika Imam Malik membuka majelis ilmu, sang guru Imam Nafi’ murid dari sahabat Ibnu Umar itu masih hidup.
Dan hal itu juga tidak bisa disimpulkan bahwa fiqih Imam Malik tidak berdiri di atas dalil, karena Imam Malik sendiri adalah Imam penduduk Madinah dalam bidang fiqih dan hadits dan para guru beliau adalah  para ulama besar tabi’in [Baca, Tak Sebut Dalil Bukan Berarti Madzhab Maliki Tidak Memiliki Dalil].
Tradisi tidak menyebutkan dalil dalam kitab-kitab fiqih madzhab Maliki berlanjut hingga muta’akhirin, dimana para ulama Malikiyah tidak menulis dalil pada kitab-kitab fiqih mereka. Hal itu karena mereka bersandar kepada fiqih Imam Malik. Dan tidak ada yang menentang akan hal itu. Hal ini disampaikan oleh Syeikh Abdul Wahhab Abdul Lathif di muqadimah Al Iklil syarh Mukhtashar Al Khalil.
Sampai akhirnya datang di kurun kontemporer sekelompok manusia membakar kitab Al Mudawwanah, yang merupakan ilmu Imam Malik yang dibukukan oleh Imam As Suhnun juga syarh Mukhtashar Al Khalil setelah shalat Jumat, dengan argumen bahwa buku-buku tersebut merupakan produk pemikiran manusia, jadi boleh dibakar.
Dalil Madzhab Maliki
Dalil-dalil yang dijadikan Imam Malik dalam membangun madzhabnya ada 17 dalil. Yakni dhahir Al Qur`an (keumuman Al Qur`an), dalil Al Qur`an (mafum mukhalafah), mafhum Al Qur`an (mafhum al aulawiyah), dan syibh (perhatian terhadap illat). Kemudian 5 hal surapa pada As Sunnah. Kemudian ijma’, qiyas dan amalan penduduk Madinah, perkataan sahabat, istihsan, sad ad darai’, dan istishab. Hal ini disampaikan oleh Al Muhaddits Abdullah bin Shiddiq di muqadimah Al Iklil fi Syarh Mukhtashar Al Khalil.
Kitab-kitab Maliki
Kitab induk madzhab Maliki adalah Al Mudawwanah, yang ditulis oleh Imam As Suhnuh di abad ke tiga. Kitab ini berisi mengenai persoalan-persoalan yang dihukumi oleh Imam Malik. Imam As Suhnun sendiri mengambil periwayatan mengenai hal itu dari Imam Ibnu Qasim. Imam Ibnu Qasim sendiri bermulazamah kepada Imam Malik selama lebih dari 20 tahun. Dalam kitab ini, As Suhnun menambah dengan qiyas Ibnu Qasim kepada persoalan yang dihukumi Imam Malik. As Suhnun juga menjadikan Al Muwaththa’ sebagai dalil untuk tiap-tiap masalah.
Sebelum As Suhnun Asad bin Furad juga telah mengumpulkan pendapat Imam Malik melalui periwayatan Ibnu Qasim, hanya saja Ibnu Qasim banyak meralatnya setelah itu. Dan menyarankan Asad bin Furad untuk mengambil apa yang telah dikumpulkan As Suhnun.
Walhasil, Al Mudawanah adalah kitab utama rujukan madzhab Maliki, karena di dalamnya terdapat pendapat 4 mujtahid. Pertama adalah Imam Malik, kemudian muridnya Ibnu Qasim lalu As Suhnun dan Asad bin Furad.
Lalu Abdul Malik membukukan Al Wadhihah yang merupakan kumpulan riwayatnya dari Ibnu Qasim dan para muridnya.
Kemudian Al Utbi murid Abdul Malik membukukan Al Utbiyah, yang berisi masalah-masalah yang diriwayatkan dari Ibnu Qasim, Asyhab dan Ibnu Nafi’ dari Malik juga dari Yahya bin Yahya, Asbagh serta As Suhnun dari Ibnu Qasim.
Kemudian di abad ke 4 datanglah ulama besar Malikiyah yang dijuluki “Malik Kecil” menggabungkan Al Mudawwanah, Al Wadhihah dan Al Utbiyah yang disebut An Nawadir.
Pada akhirnya datanglah Ibnu Hajib mengumpulkan segala periwayatan masalah-masalah dari Imam Malik dan para mujtahid Malikiyah yang disebut Al Jami’ Al Ummahat.
Kemudian Al Khalil meringkas apa yang telah ditulis oleh Ibnu Hajib, yang dikenal dengan Mukhtashar Al Khalil. Kitab terakhir inilah yang sampai saat ini dipelajar penganut madzhab Maliki.
Penyebaran Terluas
Madhhab_Map2a
Madzhab Maliki merupakan madzhab fiqih yang memiliki penyebaran terluas dibanding madzhab lainnya. Madzhab Maliki menyebar di Mesir, Andalusia, Iraq, Maghrib, dan memenuhi mayoritas wilayah Afrika. Demikian juga menyebar ke Syam dan Hijaz. Untuk wilayah teluk, Uni Amirat Arab menjadikan Madzhab Maliki sebagai madzhab yang dianut oleh kalurga kerajaan.

KISAH WAFAT ULAMA PEMBURU


IBRAHIM BIN SYABIB BIN SYAIBAH kala itu bersama para penuntut ilmu lainnya menghadiri sebuah majelis fiqih yang digelar uleh seorang ulama yang mengenaikan pakaian satu rangkap. Di hari Jum’at selanjutnya para penuntut ilmu tidak menemukan kembali majelis tersebut, hingga mereka bertanya mengenai rumah dan kuniyah ulama tersebut. Mereka memperoleh informasi bahwa ulama itu tinggal di Harbiyah dan kuniyahnya adalah Abu Abdillah.
Sesampainya di Al Harbiyah, Ibrahin bin Syabib bertanya kepada anak-anak kecil yang baru saja pulang dari belajar mengaji di kuttab. Mereka menjawab,”Kemungkinan kalian mencari si pemburu? Ya, ini adalah waktunya ia pulang”, jawab anak-anak tersebut.
Akhirnya Ibrahim bin Syabib bertemu dengan ulama tersebut, saat itu ia memikul di pundaknya burung-burang yang telah disembelih dan burung-burung yang masih hidup. Ia tersenyum ketika melihat Ibrahim bin Syabib beserta para sahabatnya. “Ada maksud apa gerangan?” Tanya Abu Abdullah.
“Kami kehilangan majelis Anda, apa sebab Anda ketidak hadiran Anda?”, tanya Ibrahim bin Syabib.
Abu Abdillah pun menjelaskan bahwa pada waktu itu ia menggunakan baju pinjaman dari salah satu tetangganya, dan waktu itu itu sang tetangga memutuskan untuk melakukan perjalanan hingga ia harus mengembalikan baju tersebut. “Aku tidak datang karena tidak ada baju yang aku kenakan”, pungkas Abu Abdillah.
Akhirnya, Abu Abdullah mengajak para tetamunya masuk rumah dan menghidangkan kepada mereka masakan burung dengan garam, roti dan air.
Setelah selesai menerima jamuan dan pergi dari rumah, Ibrahim Bin Syabib merasa prihatin melihat kondisi ulama tersebut. Akhirnya mereka sepakat untuk mengumpulkan uang guna diberikan kepada Abu Abdillah. Saat itu terkumpul uang 5000 dirham. “Kita berikan uang ini kepadanya, agar ia merubah kondisinya”, kata mereka.
Tatkala sedang dalam perjalanan menuju rumah Abu Abdillah, di pasar Al Mirbad, Muhammad bin Sulaiman Amir Bashrah sedang mencari Ibrahim bin Syabib. Akhirnya Ibrahim bin Syabib bercerita mengenai apa yang ia alami dan berkisah mengenai Abu Abdillah dan apa yang hendak ia lakukan.
“Aku lebih dahulu berbuat baik kepada laki-laki itu dibanding kalian”, jawab Muhammad bin Sulaiman. Akhirnya Muhammad bin Sulaiman memerintahkan seorang budak untuk menggotong kasur dan membawa harta dengan jumlah banyak untuk diantarkan kepada Abu Abdillah dengan diantar oleh Ibrahim bin Syabib.
Sampai di rumah Abu Abdillah, Ibrahim bin Syaibah terkejut setelah melihat wajah Abu Abdillah berubah, lebih-lebih setelah melihat kasur di atas pundak budak yang ikut serta.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi padamu? Apakah engkau menginginkan aku terkena bencana?” Ibrahim pun buru-buru menjelaskan kalau semua itu pemberian amir Bashrah yang terkenal sebagai diktator. Menerima penjelasan itu Abu Abdullah pun semakin marah, dan ia langsung menutup pintu rumahnya.
Ibrahim bin Syaibah pun bingung, bagaimana ia harus menyampaikan hal itu kapada amir Bashrah. Akhirnya ia pun menceritakan apa adanya. “Dia adalah khawarij!”, lantas ia memerintahkan untuk memenggal kepala Abu Abdillah dan membawa kepala itu kepadanya.
“Semoga Allah memberi kebaikan kepada Anda, demi Allah dia bukanlah khawarij”, Jawab Ibrahim bin Syaibah. Dan ia berjanji akan ke rumah Abu Abdillah dan mambawanya kepada amir Bashrah.
Setelah sampai ke rumah Abu Abdillah dan mengetuk pintunya, istri Abu Abdillah keluar dengan beruraian air mata. “Ada apa dengan Anda dan Abu Abdillah?” Ibrahim bin Syaibah bertanya.
Kemudian wanita itu mengizinkan Ibrahim bin Syaibah masuk dan bercerita bahwa Abu Abdillah masuk rumah, lalu ia berwudhu dan berdoa,”Ya Allah ambillah aku sekarang, aku tidak ingin memperoleh bencana dengan harta”. Lalu kemudian sang istri Abu Abdillah berbaring, kemudian didapati bahwa ia sudah tak bernyawa lagi.
Ibrahim bin Syaibah pun memeriksa tubuh Abu Abdillah, dan ia mendapati Abu Abdillah benar-benar wafat. Ibrahim bin Syaibah pun merasa takjub dengan apa yang ia saksikan. Lalu ia pun menceritakap peristiwa itu kepada amir Bashrah. Sang amir pun berkata,”Saya akan pergi, lalu saya akan shalat atasnya”. (Shifat Ash Shafwah, 4/12)

INI IDOLAKU, MANA IDOLAMU?


MELUPAKAN idola itu bukan hal mudah. Suatu ketika, saat mengantar anak-anak sekolah,  pandangan mataku merujuk layar besar sebuah produk rokok dan gambar balap mobil.
Gambar itu mengingatkan mantan idolaku yang tewas karena kecelakaan pula ketika balap mobil. Ya, aku  teringat Ayrton Senna! Diantara bintang dunia yang sempat menjadi idolaku adalah Ayrton Senna.. Ya, Ayrton Senna..! Bagiku Senna memiliki kharisma tersendiri.
Ya Allah, seandainya engkau Muslim wahai Senna, tentu aku doakan agar engkau masuk surga Firdaus. Aku sudah terlanjur mencintaimu Senna. Tapi sayang seribu sayang ia mati dalam keadaan masih belum beriman dengan keimanan yang benar.
Sang pembalap legendaris F1 yang tidak asing lagi dan selalu merajai dalam setiap event balap internasional, namun akhirnya tewas pada tahun 1994 lalu di sirkuit San Marino di Imola, Italia, setelah mengalami kecelakaan parah karena menabrak pembatas.
Kala itu, ketika mendengar berita kecelakaan, aku merasakan kesedihan yang cukup mendalam sebagaimana layaknya seorang yang ditinggal mati idolanya!
Senna oh Senna, kau kini tinggal kenangan…
Tapi ini adalah kisah lama tentang idolaku yang semoga tidak terulang kembali selamanya.
Dalam perjalanan selanjutnya, aku berusaha mencari idola yang bermanfaat bagiku untuk urusan duniaku dan akhiratku karena permasalahan idola ini adalah termasuk prinsip yang kita dilarang bermain-main di dalamnya.
Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam “Shahih-nya” meriwayatkan dengan sanadnya melalui sahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu, bahwasanya ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam seraya berkata:
“Kapan kiamat..?”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam balik bertanya:
“Apa persiapanmu menghadapinya..?”
Orang itu menjawab:
“Tidak ada sesuatupun selain aku mencintai Allah dan RasulNya Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam”.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda:
“Kamu bersama dengan kekasihmu..!”.
Sahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata:
“Kami tidak pernah senang terhadap sesuatu seperti senangnya kami dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Kamu bersama dengan kekasihmu..!”.
Sahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata lagi:
“Aku cinta kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, kepada Abu Bakar dan Umar, dan aku berharap berkumpul bersama mereka karena cintaku kepada mereka walau aku belum beramal seperti amal mereka”.
Subhanallah..!
Sungguh permasalahan memilih idola ini adalah amat sangat prinsip karena masing-masing kita akan dikumpulkan dengan kekasihnya di surga atau neraka.
Tentu kita memilih idola yang menjadikan kita berkumpul dengannya di surga, yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan orang-orang sholeh.
Cinta itu ada buktinya, bukan asal mengatakan di lisan saja!
Bukti seseorang yang menjadikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam sebagai idolanya adalah taat kepada Beliau dalam segala aspek kehidupan, bukan asal cinta di lisan saja..
وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” [QS: An-Nisaa’ [4] : 69]
Maka, jangan sekali-kali mengidolakan siapa saja yang menjadikan kita bersamanya di neraka, yaitu orang-orang kafir dan semisalnya.
Seandainya ada orang kafir yang hebat dalam suatu perkara maka kita cukup kagum saja tanpa mencintai ataupun mengidolakannya karena bagaimanapun juga ia adalah orang kafir yang menentang Allah dan RasulNya Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan kita dilarang mencintainya.
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka…” [QS: Al-Mujadilah [58]: 22]
Nah, hati-hati dan waspadalah memilih kekasih dan idola!

Minggu, 09 Agustus 2015

Hindari Sikap Mencela dalam Mendidik Anak



Dalam sebuah ungkapan bijak disebutkan, sesungguhnya banyak melakukan celaan kepada anak akan mengakibatkan penyesalan. Banyaknya celaan dan teguran akan membuat anak semakin berani melakukan tindakan buruk dan hal tercela lainnya.
Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam beliau adalah orang yang paling menghindari hal tersebut. Beliau tidak banyak banyak mencela sikap apapun yang dilakukan oleh anak dan juga tidak banyak melakukan teguran terhadap anak-anak. Tindakan Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alahi Wasallam termasuk dalam menanamkan rasa malu dan juga menumbuhkan keutamaan mawas diri, dimana kedua sifat ini sangat berkaitan erat dengan akhlak mulia.
Pendidikan yang sangat berkualitas tinggi dari Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam ini pernah dirasakan oleh Anas r.a yang pernah melayani Rasulullah semenjak kecil. Hal ini bisa tercatat dalam sebuah hadist berikut
“Aku telah melayani Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam selama 10 tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikan kepadaku, tidak pernah menanyakan: `Mengapa engkau lakukan?’ Dan pula tidak pernah mengatakan: ‘Mengapa tidak engkau lakukan?’” (Bukhari, Muslim)
Setelah mengetahui hal di atas mungkin ada yang mengatakan, “Seandainya kita bersikap lemah lembut dan banyak toleran pada anak, tentulah mereka akan bertambah berani dalam melakukan pelanggaran dan akan lebih susah dalam membimbingnya lagi”. Untuk hal seperti itu maka tidaklah sebaiknya untuk mencontoh Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dalam mendidik Anas, Ibnu Abbas Zaid Ibnu Haritsah, dan juga puta Usamah Ibnu Zaid, mereka semua diasuh dengan lemah lembut dan hasilnya mereka semua menjadi sahabat dan juga tokoh yang memiliki keluasan ilmu.
Oleh karena itu metode yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam harus kita contoh tanpa perlu dimodifikasi apalagi dikurangi. Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam pernah berinteraksi dengan seorang pemuda yang suka dengan kemaksiatan, suka minum khamr, tetapi pada akhirnya mereka bisa sadar dan kembali kepada jalan yang benar. Mereka mengakui bahwa belum pernah menemui seorang mu’allim (pengajar) yang lebih lembut dan lebih baik cara mengajarnya selain Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam.
Janganlah tergesa-gesa dalam mengambil sebuah keputusan dan tergesa-gesa untuk mendapatkan hasil tanpa adanya sikap sabar dan telaten. Contohlah Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam yang selalu bersabar dan telaten dalam membesarkan anak-anaknya.
Nasihat dari Al-Ghozali
Al-Imam Al-Ghazali mempunyai nasihat yang sangat berharga untuk para murabbi. Ia mengatakan:
“Jangan Anda banyak mengarahkan anak didik Anda dengan celaan setiap saat, karena sesungguhnya yang bersangkutan akan menjadi terbiasa dengan celaan. Akhirnya, ia akan bertambah berani melakukan keburukan, dan nasihat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi. Hendaklah seorang pendidik selalu bersikap menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak didiknya. Untuk itu, janganlah ia sering mencelanya, kecuali hanya sesekali saja, dan hendaknya sang ibu membantu anaknya hormat pada ayahnya serta membantu sang ayah mencegah sang anak dari melakukan keburukan.” (Ihya `Ulumuddin juz 3).

Hukum Allah Dilanggar, Akhir Zaman pun


DEWASA ini sering kita saksikan bagaimana berbagai kasus hukum yang diberitakan di banyak media telah mengambil perhatian publik. Kasus-kasus hukum ini selalu menjadi bahan pemberitaan karena terus di bulak-balik dan bergulir tak henti-hentinya.
Terkadang kita lihat bagaimana terdakwa yang terus memohon pertimbangan hakim akhirnya bisa lolos dari kasusnya, atau dia mendapat hukuman berlapis, dan terkadang di akhir kasus malah muncul tersangka baru yang membuat kita menjadi bingung.
Berbicara mengenai hukum, Sesungguhnya Islam juga memiliki sistem hukum sendiri. Hukum di sini bukan sekadar hukum waris atau hukum talak, tetapi juga hukum perdata dan pidana. Betapa fakta ini bisa menjadi indikator bagaimana Islam merupakan agama yang teratur dan terarah. Namun saat ini, banyak diantara kaum Muslimin yang tidak mengetahui adanya perkara yang demikian itu. Sebabnya, memanglah hukum-hukum ini tidak dipergunakan lagi di sebagian besar negara-negara Islam. Padahal, mengambil keputusan hukum berdasarkan aturan yang ditetapkan Allah SWT adalah salah satu kewajiban utama. Allah SWT berfirman,
“Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Di Akhir Zaman, tali-tali pengikat Islam akan terlepas satu per satu. Tali yang pertama kali akan terlepas adalah hukum Allah SWT.
Umamah al-Bahili RA meriwayatakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tali-tali pengikat Islam ini akan terlepas satu per satu. Setiap kali satu tali terlepas , manusia akan berpegang pada tali berikutnya. Yang pertama akan terlepas adalah hukum Allah yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani. Perawi Hadits ini adalah perawi as-Shahih)
Tanda ini sekarang sudah terlihat di sebagian besar negeri Islam. Mereka sudah tidak lagi berpegang pada hukum Islam kecuali pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dengan pernikahan, talak, waris dan semisalnya. Dalam persoalan jual-beli, hukum pidana dan hukum perdata, mereka berpatokan pada hukum Perancis, Inggris, dan hukum-hukum positif lainnya. Inilah maksud tidak berhukum dengan Allah SWT.
“Dan, (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)