Imam Ibnul Jauziy berkata: “Saya pernah menghadiri jamuan orang-orang kaya. Bagi mereka, para ulama adalah kalangan yang paling hina. Ulama-ulama itu menjadi hina karena berada di tengah orang kaya untuk mengharapkan sesuatu dari mereka. Orang-orang kaya itu pun tak menghormatinya karena mereka tahu bahwa para ulama itu banyak menggantungkan nasib mereka padanya. Saya melihat adanya kekeliruan di kedua pihak tersebut.
Bagi pemilik harta, mereka tercela karena tidak menghormati ilmu dan pemiliknya. Hal ini disebabkan kebodohan mereka akan arti ilmu itu sendiri. Oleh karena itu, mereka lebih mengutamakan mencari harta. Sangatlah tidak pantas jika seseorang menuntut mereka menghormati apa yang tidak mereka ketahui nilai dan maknanya. Adapun cela yang dimiliki para ulama dikarenakan mereka tidak menjaga kehormatan diri yang dihiasi ilmu yang luas. Mereka pun terjungkal dalam kehinaan, karena kemiskinan harta membuat mereka meminta-minta kepada orang kaya.
Andai para ulama mapan ekonominya, tidak membutuhkan, dan tidak bergantung pada orang kaya, pastilah mereka yang kaya itu berada di bawah derajat para ulama dan akan diharamkan bagi ulama menengadahkan tangan kepada mereka. Masalahnya, jika para ulama itu sudah merasa berkecukupan, kenapa mereka tidak mengutamakan kebersihan hati dan jiwa? dan masih saja meminta-minta hanya untuk mendapatkan hal yang sifatnya fana?
Saya pun merasakan sulitnya jiwa untuk bersikap sabar dan puas dengan sedikit yang ada serta untuk tidak menuntut hal-hal yang berlebih. Kalaupun jiwa itu bisa bersabar, sifatnya hanyalah sementara dan tidak mungkin baginya bersabar sepanjang waktu.
Yang lebih utama bagi seseorang yang berilmu adalah -selain menuntut ilmu- juga mencari harta kekayaan dan berusaha sekuat mungkin untuk mendapatkannya, meskipun mungkin ia akan kehilangan sebagian besar waktunya untuk menuntut ilmu. Hal itu akan sangat berguna membentengi kehormatannya.
Said bin al-Musayyab berdagang minyak dan meninggalkan untuk keluarganya sejumlah harta saat dia meninggal dunia. Begitu juga Sufyan ats-Tsauri telah mewariskan harta yang demikian banyak. Suatu saat dia berkata, “Andai bukan karena harta, pastilah orang-orang kaya akan menghinaku”.
Saya menyarankan kepada penuntut ilmu untuk tetap mencari harta, karena saya yakin bahwa jiwa manusia tak selalu tabah untuk bertahan dengan kesederhanaan dan tidak selalu siap untuk berlaku zuhud. Betapa banyaknya orang yang kuat keinginannya untuk menggapai akhirat, kemudian mengeluarkan seluruh (harta) miliknya yang ada di tangannya. Ketika mereka lemah, akhirnya mencari harta dengan jalan yang sangat memprihatinkan.
Yang terpuji adalah jika seseorang menyimpan harta atau menabung dan tidak menggantungkan nasibnya pada manusia. Hal itu perlu untuk menghindarkannya dari ketamakan dan ia pun bisa memurnikan pengabdian keilmuannya tanpa dirasuki kepentingan-kepentingan pribadi. Mereka mengumpulkan bekal untuk hidup dengan cara yang wajar sepanjang tidak berdampak negatif kepada agama dan kehormatan mereka. Siapa saja yang sering mendengar cerita dan kabar orang-orang pilihan, akan mendapati cara hidup mereka yang semacam itu.
Selain mereka, ada orang yang menginginkan dirinya selalu saja beristirahat tanpa kerja seperti apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang hanya mengisi hidupnya dengan berbagai ritual dan menghabiskan apa saja yang mereka miliki. Mereka lalu menyebut yang demikian itu sebagai tawakal.
Mereka tak sadar bahwa mencari nafkah sama sekali tidak bertentangan dengan tawakkal. Mereka sebenarnya adalah orang-orang pemalas yang bekerja dengan meminta-minta. Mereka tidak malu menengadahkan tangan pada orang lain dan tidak menyadari betapa miskinnya mereka akan ilmu dan amal.”
Disalin dari buku Shaidul Khatir, karya Imam Ibnul Jauziy, pustaka Maghfirah, hlm 253-255
Tidak ada komentar:
Posting Komentar